Pagi di plafon rumah
Udara
dingin segera membelai tubuh yang baru keluar dari dalam rumah, kulihat di ufuk
timur mentari masih malu-malu keluar dari peraduannya. Sinarnya yang masih
berwarna merah kekuningan itu, sedikit-sedikit menembus awan. Hingga terlukislah
siluet jajaran pohon yang begitu indah dengan latar mentari yang masih terlihat
setengah bulat tertutupi awan.
Terdengar
dari jauh sayup-sayup nyanyian burung gereja yang terdengar begitu merdu. Tak
lama kemudian para bangsa burung mulai keluar dari istananya di atas pohon.
Mereka terbang menyambut mentari yang mulai mengirim cahaya oranye menyelimuti semesta.
Asap
mulai terlihat di beberapa rumah yang masih menggunakan kayu bakar. Wangi
rempah dan bumbu khas mulai kucium, pertanda ibu- ibu di sekitar rumah mulai
menyiapkan masakan bagi para penghuninya. Suasana pagi itu memang begitu
memanjakan semua indraku. Lukisan dari sang khalik yang memanjakan mata, udara
dingin yang membelai kulit, nyanyian burung yang memberi ketenangan pada indra pendengaran,
serta indra penciuman yang dimanjakan dengan wangi rempah yang dimasak.
Asap
tipis yang keluar dari cangkir kopi yang telah kubuatpun tak mau kalah memberi
kesan sempurna untuk pagi itu. Secangkir kopi segera kunikmati bersama semua
bentang alam, keindahan serta
keselarasan yang di ciptakan tuhan untuk di nikmati dan di syukuri.
Komentar
Posting Komentar